Senin, 20 April 2009

ALKIMIA


Alkimia adalah protosains yang menggabungkan unsur-unsur kimia, fisika, astrologi, seni, semiotika, metalurgi, kedokteran, mistisisme, dan agama.Dua tujuan yang saling berkaitan yang diupayakan oleh banyak ahli alkimia adalah batu filosof, sebuah zat mitos yang memungkinkan terjadinya transmutasi logam biasa menjadi emas; dan panacea universal, obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit dan memperpanjang usia. Alkimia dapat dipandang sebagai cikal-bakal ilmu kimia modern sebelum dirumuskannya metode ilmiah.Kata alkimia berasal dari Bahasa Arab al-kimiya atau al-khimiya (الكيمياء atau الخيمياء), yang mungkin dibentuk dari partikel al- dan kata Bahasa Yunani khumeia (χυμεία) yang berarti "mencetak bersama", "menuangkan bersama", "melebur", "aloy", dan lain-lain (dari khumatos, "yang dituangkan, batang logam"). Etimologi lain mengaitkan kata ini dengan kata "Al Kemi", yang berarti "Seni Mesir", karena bangsa Mesir Kuno menyebut negerinya "Kemi" dan dipandang sebagai penyihir sakti di seluruh dunia kuno.TINJAUAN UMUMPada umumnya, orang menganggap ahli alkimia sebagai ahli pseudosains yang berupaya mengubah timah menjadi emas, meyakini bahwa semua materi tersusun atas empat unsur tanah, udara, api, dan air, dan mengulik pingiran mistisisme dan Sihir. Dari sudut pandang masa kini, upaya dan keyakinan mereka dianggap memiliki keabsahan terbatas, tetapi kalau mau objektif, kita harus menilai mereka dalam konteks zaman mereka. Mereka mencoba menjelajahi dan menyelidiki alam sebelum tersedianya sebagian besar alat dan praktik ilmiah dasar, dan alih-alih bergantung pada pegalaman, tradisi, pengamatan dasar, dan mistisisme untuk mengisi lobang-lobang ini.Untuk memahami para ahli alkimia, cobalah merenungkan betapa ajaibnya perubahan suatu zat menjadi zat lain, yang menjadi dasar metalurgi sejak dimulainya ilmu ini pada akhir zaman Neolitikum, bagi kebudayaan yang tidak memahami fisika atau kimia secara formal. Bagi ahli alkimia, tak ada alasan kuat untuk memisahkan dimensi kimiawi (material) dengan dimensi penafsiran, perlambangan, atau filsafat. Pada masa itu, fisika yang tak memiliki wawasan metafisika dianggap tak lengkap seperti halnya metafisika yang tak memiliki perwujudan fisik. Jadi, lambang dan proses alkimia biasanya memiliki baik makna batiniah yang merujuk pada perkembangan spiritual praktisinya, maupun makna material yang berkaitan dengan perubahan fisik zat.Transmutasi logam biasa menjadi emas melambangkan upaya menuju kesempurnaan atau ketinggian tertinggi eksistensi. Ahli alkimia meyakini bahwa seluruh alam semesta sedang bergerak menuju keadaan sempurna; dan emas, karena tak pernah rusak, dianggap zat yang paling sempurna. Dengan mencoba mengubah logam biasa menjadi emas, mereka sebenarnya mencoba membantu alam semesta. Maka, cukup logis jika mereka berpikir bahwa dengan memahami rahasia ketakberubahan emas, mereka akan menemukan kunci untuk menangkal penyakit dan pembusukan organik; demikianlah pertautan antara tema-tema kimiawi, spiritual, dan astrologi menjadi ciri-ciri alkimia zaman pertengahan.Maka, penafsiran naif sebagian ahli alkimia, atau harapan palsu yang dipromosikan sebagian yang lain, jangan sampai mengurangi nilai upaya para praktisi lain yang lebih tulus. Selain itu, bidang alkimia banyak berubah sepanjang zaman, dimulai sebagai cabang metalurgis/obat agama, menjadi dewasa menjadi bidang studi yang kaya dan sah, berdevolusi menjadi mistisisme dan penipuan blak-blakan, dan akhirnya memberikan sebagian pengetahuan empiris dasar untuk bidang kimia dan obat-obatan modern.Hingga abad ke-18, alkimia dianggap sebagai ilmu serius di Eropa; contohnya, Isaac Newton mengabdikan banyak waktu untuk Seni ini. Ahli alkimia terkemuka lainnya di dunia Barat adalah Roger Bacon, Santo Thomas Aquinas, Tycho Brahe, Thomas Browne, dan Parmigianino. Penurunan alkimia dimulai pada abad ke-18 dengan lahirnya kimia modern, yang memberikan kerangka kerja yang lebih teliti dan andal untuk transmutasi zat dan obat-obatan, dalam desain baru alam semesta yang berdasarkan materialisme rasional.Idealisme transmutasi zat dalam alkimia menjadi terkenal lagi pada abad ke-20 ketika para fisikawan mampu mengubah atom timah menjadi atom emas melalui reaksi nuklir. Namun, atom emas baru ini, karena merupakan isotop yang labil, hanya bertahan lima detik lalu terurai. Lebih belakangan, laporan mengenai transmutasi unsur atas-tabel — dengan cara elektrolisis atau kavitasi suara — menjadi pusat kontroversi fusi dingin (cold fusion) pada tahun 1989. Tak satu pun klaim-klaim ini dapat diduplikasi. Dalam kedua kasus ini, kondisi yang diperlukan berada jauh di luar jangkauan para ahli alkimia kuno.Perlambangan alkimia sesekali digunakan pada abad ke-20 oleh psikolog dan filosof. Carl Jung memeriksa kembali perlambangan dan teori alkimia dan mulai menunjukkan makna batin dalam pekerjaan alkimia sebagai jalan spiritual. Filsafat, lambang, dan metode alkimia menikmati kelahiran kembali dalam konteks posmodern, seperti gerakan New Age. Bahkan sebagian fisikawan bermain-main dengan gagasan alkimia dalam buku-buku seperti The Tao of Physics dan The Dancing Wu Li Masters.Sejarah alkimia menjadi bidang akademis yang giat. Seraya bahasa ahli alkimia yang kabur — dan tentunya hermetis — perlahan-lahan dapat "dipecahkan sandinya", para ahli sejarah menjadi semakin menyadari hubungan intelektual antara alkimia dengan segi-segi lain sejarah budaya Barat, seperti masyarakat Rosicrucian dan masyarakat mistis lainnya, sihir, dan tentu saja evolusi sains dan filsafat.

klasifikasi F.I.L.S.A.F.A.T


Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.

Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang
Yunani kuno.


Tokoh utama filsafat Barat antara lain
Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.

Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.


Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.

Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan (sains) yang dikenal sekarang.

Aksiologi membahas masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.

Etika membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik. Di dalamnya dibahas aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya.

Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.

Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di
Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.

Filsafat Timur Tengah
Filsafat Timur Tengah dilihat dari sejarahnya merupakan para filsuf yang bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang
Yahudi!), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa fiosof Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut begitu)dan Averroes.

Filsafat Islam
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.'

Filsafat Kristen
Filsafat Kristen mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh:
Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dsb.


dOn't yOu???

Religious Myspace Comments
MyNiceSpace.com

Sejarah ISID

Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo merupakan Perguruan Tinggi Pesantren pertama di Indonesia sejak 1963.
Kini, dengan berdirinya Kampus Baru ISID yang terletak di Jalan Raya Demangan Siman Ponorogo, 5 km arah utara dari Kampus Pondok Modern Darussalam Gontor, ISID tidak lagi menjadi Perguruan Tinggi eksklusif yang hanya membina dan meningkatkan kuwalitas staf pengajar Kulliyatu-l-Mu’allimin/ Al-Mu’allimat suatu lembaga pendidikan tingkat menengah dilingkungan Pondok Modern Gontor- karena Kampus Baru ini sengaja dipersiapkan untuk mereka yang berminat terhadap program-program studi yang ditawarkan, dari kalangan manapun. Adapun kampus ISID yang sudah ada, yaitu yang terletak di kampus Al-Azhar Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan Kampus Pesantren Putri di Sambirejo Mantingan Ngawi, masih tetap exist dan terus dikembangkan.
Perguruan Tinggi Pesantren adalah sebuah sistem kelembagaan Pendidikan Tinggi Islam yang menawarkan program Akademik dan Profesional yang relevan dengan Studi Islam; di dalamnya, para mahasiswa dapat hidup, belajar dan beraktivitas secara kreatif dalam lingkungan pesantren dengan mengacu kepada Panca jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yaitu, Keikhlasan, Kesederhanaan, Berdikari, Ukhuwah Islamiyah dan Kebebasan; dan Motto Pondok Modern Darussalam Gontor; Berbudi Tinggi, Berbadan Sehat, Berpengetahuan Luas, Berpikiran Bebas; serta taat menjalankan dan menegakkan Syari’at Islam, berkhidmat kepada bangsa dan negara;mampu mandiri dalam memelihara, memperdalam dan mengembangkan ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan ummat lahir bathin, dunia akhirat, dan meningkatkan kuwalitas sumber daya manusia muslim Indonesia.Bahwasannya pendidikan adalah kebutuhan asasi manusia agar dapat hidup sesuai dengan kodrat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah SWT yang diberi amanat dan tanggung jawab untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi. (Q.S al-Mujadalah: 11 al-Baqarah: 30).
Dalam rangka melaksanakan misi dan risalah tersebut, maka para pendiri Pondok Modern Gontor, KH Ahmad Sahal, KH. Zaenuddin Fananie, KH. Imam Zarkasyi, pada tanggal 1 Rajab 1383 / 17 November 1963, mendirikan Perguruan Tinggi Darussalam (PTD) dengan dua Fakultas; Tarbiyah dan Ushuluddin. Pada tahun 1972 nama PTD berubah menjadi Institut Pendidikan Darussalam (IPD), sedangkan nama Institut Studi Islam Darussalam (ISID) yang mempunyai tiga Fakultas; Ushuluddin, Tarbiyah (Pendidikan) dan Syari’ah, ditetapkan sejak tahun 1996 sesuai dengan SK Menteri Agama RI no. 174/ Th. 1996 Tanggal 29 April 1996, kemudian nama ini berlaku sampai sekarang ini. Pendirian Perguruan Tinggi oleh Yayasan Perguruan Tinggi Darussalam (YPTD) tersebut sebagai upaya untuk menjawab problematika ummat yang membutuhkan sebuah lembaga Pendidikan Tinggi Islam untuk mencetak ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Pendirian Institut ini dimaksudkan sebagai rintisan awal bagi terwujudnya Universitas Islam yang bermutu dan berkualitas sekaligus bermanfaat bagi kemajuan ummat. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang lahir dan tumbuh dilingkungan Pondok Pesantren, Institut Studi Islam Darussalam (ISID) selalu bepegang teguh pada prinsip-prinsip agama Islam didalam melaksanakan pendidikan, pengajaran dan kegiatan-kegiatan ilmiyah lainnya.Dengan tetap menjaga keseimbangan antara nilai-nilai Pendidikan Pondok Pesantren pada satu sisi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada sisi yang lain.Institut Studi Islam Darussalam (ISID), berketetapan mengusahakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan ummat, dalam rangka mencerdaskan bangsa (UUD 45) demi terbinanya menusia Indonesia seutuhnya, dan terwujudnya masyarakat adil dan makmur (GBHN dan UU no. 20 Tahun 2003), jasmani dan rohani yang diridai oleh Allah SWT. Sebagai sebuah Perguruan Tinggi Pesantren, Institut Studi Islam Darussalam (ISID) juga bertujuan untuk membentuk sarjana mu’min muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berfikiran bebas, serta taat menjalankan syari’at Islam, berkhidmat kepada bangsa dan negara, cakap berdiri sendiri dalam memelihara, memperdalam dan mengembangkan ajaran-ajaran Islam dan ilmu pengetahuan, bagi kesejahteraan ummat lahir batin, dunia akhirat .Sekarang ini jumlah mahasiswa sebanyak 1162 dan jumlah dosen 99, input setiap tahun adalah 500 mahasiswa sedangkan graduan yang akan keluar adalah 145 mahasiswa.Setelah mahasiswa menyelesaikan semua program dan dinyatakan lulus, maka yang bersangkutan berhak mendapat gelar Sarjana Strata Satu (Licentiate), untuk Sarjana Tarbiyah (Pendidikan) adalah Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I), Sarjana Ushuluddin adalah Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) dan Sarjana Syari’ah adalah Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

the history of....


The word theology comes from late middle English, from French théologie, from Latin theologia, from Greek θεολογία, theologia, from θεός, theos or God + λόγος or logos, "words," "sayings," "discourse," or "reason" ( + suffix ια, ia, "state of," "property of," "place of"). The Greek word can be literally translated as "talk about God or the divine," but the meaning of the word shifted as it was used (first in Greek and then in Latin) in European Christian thought in the Patristic period, the Middle Ages and Enlightenment, and then taken up more widely.

Averroes, like many important Muslims who wrote about God, was a writer on Islamic theology or "Kalam." His school of Averroism had a significant influence on Christian theology.


"Theology" can also now be used in a derived sense to mean "a system of theoretical principles; an (impractical or rigid) ideology."


The term θεολογια theologia is used in classical Greek literature, with the meaning "discourse on the gods or
cosmology." The first known use is by Plato in The Republic, Book ii, Ch. 18.

Aristotle divided theoretical philosophy into mathematike, physike and theologike, with the latter corresponding roughly to metaphysics, which, for Aristotle, included discussion of the nature of the divine.

Drawing on Greek sources, the
Latin writer Varro influentially distinguished three forms of such discourse: mythical (concerning the myths of the Greek gods), rational (philosophical analysis of the gods and of cosmology) and civil (concerning the rites and duties of public religious observance).


t.h.e.o.l.o.g.i.e


Assalamu'alaikum Wr.Wb

Alhamdulillah, selesai juga blog ini dibuat. Mungkin kalian bertanya-tanya. Ko harus theologie sih?? Sebetulnya, blog ini dibuat khusus dalam rangka lomba membuat blog antar fakultas di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Divisi Mantingan. Tapi untuk selanjutnya, blog ini akan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kepentingan bersama. Kontennya tidak terbatas, asalkan mendidik dan tidak meninggalkan nilai Syari'at Islam. Tanpa basa-basi lagi, dipersilahkan bagi siapapun yang ingin mengirimkan artikel, berita, puisi, liputan, opini, dsb. Segera kirimkan ke Redaksi FOKUS atau langsung ke Senat Ushuluddin juga boleh.....

Hehehehe...

Bravo Ushuluddin!!!