Rabu, 17 Juni 2009

DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA


Secara geogafis, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam yang terletak sangat jauh dari tempat kelahiran Islam di Arab Saudi. Inilah salah satu alasan mengapa pembicaraan mengenai Islam di Indonesia selalu menarik. Dinamika pemikiran dan intelektualisme di negeri ini juga menunjukkan intensitasnya yang cukup tinggi, belum lagi jika melihat banyaknya gerakan keislaman. Semua ini semakin menambah daya tarik Islam Indonesia, di samping, tentu saja, menggambarkan begitu rumit dan kompleksnya membaca persoalan keislaman di negeri ini. Maka membaca Islam di Indonesia, termasuk membaca pemikiran yang berkembang akan mengalami kegagalan jika melupakan sisi kesejarahan. Perpektif ini tidak saja menunjukkan silsilah atau isnad dari mana sumber pemikiran itu, tetapi juga memberikan penjelasan secukupnya bahwa pemikiran bagaimanapun tetaplah merupakan pemikiran yang bersifat historis, yang lahir dari latar sosio-politiknya.
Dalam kerangka pikir seperti itu, makalah ini akan memotret dinamika pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia.

Akar Historis Dinamika Pemikiran Islam di Indonesia
Perkembangan pemikiran keislaman di wilayah periphery seperti Indonesia, bisa dikatakan, sebagai “kepanjangan tangan” dari perkembangan pemikiran di negeri asalnya, dan merupakan bagian dari rentetan sejarah panjang pertumbuhan Islam itu sendiri. Konon, Islam masuk “Indonesia” sudah dimulai sejak masa awal-awal Islam. Beberapa ‘spekulasi’ teori sejarah mengatakan Islam sudah masuk sejak abad ke-12 atau 13, ada juga yang mengatakan sejak abad ke-9, bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-8. Yang jelas beberapa abad setelahnya dinamika pemikiran Islam dan intelektualisme sudah sedemikian merata. Azyumardi Azra dalam karya Disertasinya, menunjukkan akar-akar pembentukan intelektualisme Islam di negeri ini yang dapat dilacak jauh ke belakang sejak abad 17 dan 18. Dinamika itu antara lain nampak dari keterlibatan ulama-ulama nusantara pada jaringan ulama yang berpusat di Haramain (Makkah dan Madinah). Perintis keterlibatan ulama itu antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Nur al-Din al-Raniri (w. 1068 H/1658 M), Abd al-Rauf al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M), Muhammad Yusuf al-Maqassari (1030-1111 H/1629-1699 M), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) dan sebagainya. Dari beberapa ‘ulama berpengaruh itu, Azra bahkan menunjukkan silsilah atau isnad yang hampir tak terputus dengan para ‘ulama Timur-Tengah, khususnya Haramain dan Kairo. Mereka terlibat jaringan keilmuan global dengan agenda pembaharuan pemikiran Islam, dari apa yang disebut mistiko-filosofis menjadi bercorak neo-sufisme.
Jaringan intelektual tersebut terus berlanjut hingga abad 19, saat di mana geneologi intelektual ulama negeri ini mulai kelihatan jelas. Penelitian Karel A. Steenbrink menunjukkan bahwa sejumlah pesantren, meunasah, dan surau melakukan kajian keislaman dengan pemilihan kitab yang kurang lebih coraknya sama dengan yang berkembang di Timur-Tengah. Demikian juga sejumlah ulama yang pemikirannya dikaji, bahkan sejumlah ajaran kejawen, seperti serat centini, menunjukkan pengaruh wacana keislaman yang berkembang di negeri asalnya. Berbeda dengan penelitian Azra yang menggambarkan keseragaman pemikiran Islam, penelitian Steenbrink lebih menekankan pada keragaman, mulai ajaran mistik, ajaran local wisdom, sampai yang radikal seperti yang terjadi pada ulama Paderi Minangkabau. Dengan demikian, dalam rentang waktu yang cukup panjang para ulama “Jawi” telah menyerap tradisi Timur Tengah sekaligus mengembangkan wacana keagamaan, baik pada aspek teologi, fikih maupun tasawuf yang pada gilirannya akan dijadikan sebagai standar keislaman ulama nusantara.
Lalu pada paroh kedua abad 19, wacana keagamaan nusantara antara lain ditandai dengan semakin mapannya jaringan tersebut. Namun pada masa ini ada perubahan-perubahan signifikan mengenai posisi ulama nusantara di Haramain. Jika pada masa-masa sebelumnya ulama “Jawi” lebih sebagai murid dari ulama Haramain, pada abad 19 mulai muncul ulama-ulama nusantara bertaraf internasional yang menjadi “guru besar” di pusat Islam tersebut. Guru-guru dimaksud pada gilirannya akan melahirkan apa yang disebut koneksi jaringan di Asia Tenggara. Nama-nama yang paling menonjol mengenai hal ini antara lain Nawawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M), Ahmad Khatib al-Sambasi (w. 1875 M), Abd al-Karim al-Bantani, Ahmad Rifa’i Kalisalak (1200-1286 H/1786-1870), Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi, Daud Ibnu Abdullah al-Fatani, Junaid al-Batawi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1276-1334 H/1816-1916 M), Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1346 H/1928 M), Muhammad Mahfuz al-Tirmasi (1285-1338 H/1842-1929 M), Hasan Musthafa al-Garuti (1268-1348 H/1852-1930 M), Sayyed Muhsin al-Falimbani, Muhammad Yasin al-Padani (1335-1410 H/1917-1990), Abd al-Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani dan sebagainya.
Selanjutnya pada awal abad ke-20, pemikiran Islam di Indonesia digambarkan secara jelas oleh Deliar Noer dalam disertasinya. Secara umum, Deliar Noer melihat adanya dua kecenderungan pemikiran Islam di awal abad ke-20, pertama apa yang ia sebut sebagai “gerakan tradisional,” dan kedua “gerakan modern” yang terdiri dari gerakan sosial di satu sisi dan gerakan politik di sisi yang lain. Kategori pertama diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri tahun 1926 dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), 1929, sedang yang kedua diwakili oleh Sarekat Islam (SI), 1911 dan Muhammadiyah, 1912. Sekalipun di kemudian hari karya ini menuai banyak kritik, terutama terkait tipologi pemikiran itu, namun yang manarik dari Deliar Noer adalah karakteristik kedua gerakan-pemikiran itu. Gerakan Islam tradisional lebih bercorak kemadzhaban, memandang tradisi, terutama tradisi intelektual imam madzahib sebagai panutan keberagamaan. Secara lebih spesifik, yang disebut Islam tradisional umumnya bertumpu pada padangan dunia, ideologi keagamaan dan praktek keislaman yang diaktualisasikan dengan kepenganutan kepada kalam Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali. Bahkan, yang terakhir ini diperkuat lagi dengan tarekat-tarekat yang pada gilirannya mewarnai komunitas Islam tradisional itu. Sementara gerakan modern becorak rasional, non-madzhabi, dan menekankan pada kemurnian ajaran Islam yang berumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Beberapa hal ini dilihat sebagai terpengaruh dari pemikian purifikasi Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim di satu sisi dan pemikiran modernisme Muh. Abduh dan Rasyid Ridla di sisi yang lain. Jika yang pertama berfokus pada tema “kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah” (ruju’ ila al-Quran wa al-sunnah) dan pemurnian dari syirik, bid’ah dan ekspresi-ekspresi keagamaan tradisiona lainnya, maka yang disebut terakhir berusaha mendorong penerimaan rasionalitas dan kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat yang dianggap sebagai bagian inheren dari Islam yang murni.
Gambaran pemikiran Islam di Indonesia pada abad ke-20 lebih komprehensip diberikan oleh Fauzan Saleh dalam bukunya “Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX”. Dalam kayanya itu, Fauzan memofuskan pembahasannya pada pemikiran kaum modernis, terutama dari kalangan Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) serta kelompok yang mewarisi semangat modernisme pada akhir abad tersebut. Kemunculan gerakan ini didorong oleh keinginan untuk melaksanakan ajaran Islam secara murni. Dan, agar terbebas dari beban tradisi yang tidak memiliki sumber doktrin yang tegas. Kelompok ini juga dikenal sebagai gerakan pembaruan, yaitu upaya memahami doktrin Islam sesuai dengan semangat zaman.
Gerakan pembaruan Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah dan Persis, telah berupaya merekonstruksi wacana teologi dengan mengusung pemurnian akidah sebagai tema sentralnya. Kepedulian ini ternyata tidak hanya terbatas pada para tokoh awal gerakan pemurnian ini, tapi dilanjutkan oleh para pemikir dari kalangan pembaharu dewasa ini. Generasi mutakhir semacam Dr Amien Rais yang mendapat gelar akademiknya di Barat dan menjadi pimpinan tertinggi di Muhammadiyah (1995-1998), dan tokoh-tokoh lain, juga melakukan hal yang sama.
Sedangkan mengenai perkembangan terkini pemikiran pembaruan Islam di Indonesia, Fauzan mengangkat karya-karya Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, dua tokoh yang sangat menonjol dalam pembentukan wacana keislaman kontemporer. Pada pertengahan dekade 1980-an ada perubahan yang sangat besar dalam hubungan antara umat Islam dan birokrasi pemerintahan. Pada masa itu umat Islam Indonesia mulai memainkan peran lebih besar dalam kemajuan kultural dan ekonomi negeri ini. Pembaruan (pemikiran Islam] model Harun Nasution dan Nurcholis Madjid ini yang dikenal dengan neo-modernisme Islam.

Tradisi dan Modernitas, keyword dalam pemikiran Islam kontemporer
Dinamika pemikiran Islam di Indonesia satu dasa warsa belakangan ini, terutama yang berkembang pada intelektual muda sebenarnya juga berakar dua mainstream besar pemikiran di atas. Isu yang meraka bawa “tradisi dan modernitas” (al-turâts wa al-hadâtsah). Isu ini juga tidak bisa dilepaskan dari gelegar pemikiran yang berkembang di Arab. Dalam pemikiran Arab kontemporer, kekalahan Arab oleh Israel tahun 1967 tampaknya sebagai pemicu bagi lahirnya kesadaran baru: bagaimana sebenarnya tradisi kita, bagaimana sebaiknya membaca tradisi kita dan ada apa dengan modernitas? “limadza taakhkharal muslimun wa taqaddama ghairuhum”. Kekalahan tersebut ternyata sangat menentukan sejarah politik dan pemikiran Arab. Sejak saat itu, isu "tradisi dan modernitas" (al-turâts wa al-hadâtsah) menjadi isu tersanter dalam pemikiran Arab kontemporer. Apakah tradisi harus dilihat dengan kacamata modernitas ataukah modernitas harus dilihat dengan kacamata tradisi atau bisakah keduanya dipadukan?
Sama dengan yang terjadi pada umat Islam pada umumnya, selama ini di Indonesia, tradisi selalu dilihat dengan kacamata tradisi sebagaimana yang terjadi pada kaum tradisional (salafiyah) di satu sisi atau tradisi selalu dilihat dengan kacamata modernitas sebagaimana yang dilakukan kaum reformis pada sisi yang lain. Makanya kaum tradisional selalu berada pada posisinya yang tradisional itu. Tradisi intelektualisme yang dikembangkan, model dan corak pendidikan, sampai keberagamaan mereka tidak pernah terpegaruh oleh hiruk-pikuknya pembaharuan. Ide-ide pembaharuan lebih dipandang sebagai tantangan yang perlu diwaspadai dari pada untuk diterima. Ini terjadi pada sebagian besar muslim Indonesia, bahkan juga, yang terjadi pada umat ini. Kondisi seperti ini tentu menggelisahkan kaum reformis. Mereka melihat ada ‘penyakit’ yang menjangkiti umat Islam ini. Maka ada yang mengobati dengan rasionalisasi, purifikasi, [neo]modernisasi, bahkan sekularisasi.
Sampai saat ini, dua abad sudah masa modernisasi di dunia Arab-Islam, dan satu abad modernisasi (pemikiran) Islam di Indonesia, nalar tradisi masih tetaplah tradisional, sementara upaya modernisasi, termasuk dengan para reformisnya tak henti-hentinya menuai kritik, terutama dari kalangan muda-menengah. Maka, di sinilah barangkali ada benarnya juga sebagian pengamat yang mengatakan, modernisasi Islam itu sebenarnya tidak berhasil. Atau, kalau tetap dikatakan berhasil, kenyataannya memang masih bersifat elitis. Meminjam kalimat Hasan Hanafi, umat Islam umumnya lebih merasa at home dengan tradisi ketimbang modernitas, karena tradisi telah menyatu dalam kesadaran sejak empat belas abad lalu, sementara modernitas baru datang tidak lebih dari dua ratus tahun lalu.
Artinya, jika dapat diilustrasikan dalam sebuah gambar maka seperti segitiga sama sisi yang dipotong garis di tengah; bagian atas, yakni bagian kecil adalah gambaran Islam modernis yang sudah relatif maju, sedang bagian bawah atau bagian terbesar, menunjukkan kondisi tradisional. Kalangan muda-menengah sebagaimana disebut itu, dapat saja lahir dari kelompok reformis, tetapi umumnya dari kelompok tradisionalis yang merasakan adanya anomali bahkan krisis dalam pola pikirnya, bahkan barangkali pola keberagamaannya, namun ada juga yang sejak semula melihat apapun upaya modernisasi itu harus ditolak karena laisa minna.
Terinspirasi atau bahkan terpengaruh oleh pemikiran Arab kontemporer, seperti Abed Jabiri, Arkoun, Syahrur, Hasan Hanafi, Adonis, dll., berkembang varian-varian pemikiran baru. Umumnya mereka melihat bahwa turâts adalah prestasi sejarah, sementara hadâtsah adalah realitas sejarah. Maka tidak bisa menekan turats apalagi menafikannya hanya demi pembaharuan; rasionalisasi atau modernisasi sebagaimana perspektif modernis selama ini. Pun juga tidak bisa menolak begitu saja apa-apa yang datang dari ‘perut’ hadâtsah, terutama perkembangan saintek. Karena sekalipun banyak mengandung kelemahan, karenanya juga dikritik, tetap banyak memberikan penjelasan atas problem kehidupan, keilmuan, mungkin juga keberagamaan.
Maka keduanya: turâts dan hadâtsah harus bisa dibaca secara kreatif, dengan ‘model’ pembacaan kontemporer (qira’ah mu’ashirah). Turâts tidak hanya dibaca secara harfiah tetapi sampai pada basis pembentuknya untuk menemukan makna potensial sehingga bisa ditransformasikan di zaman kita. Tidak sebagaimana perpektif modernisme, apa saja yang datang dari Barat diterima tanpa kritik, bahkan dianggap pasti baik dan benar. Dalam pembacaan kontemporer, Hadâtsah juga harus dibaca secara kritis, dengan kritik, dengan mengambil jarak, juga untuk membongkar basis filosofis dan ideologisnya. Di sinilah peran oksidentalisme sebagai perspektif. Setelah keduanya dibaca secara kritis-kreatif, lalu terbangun konstruksi pemaknaan yang baru. Model pembacaan seperti inilah yang disebut dekonstruksi-rekonstruksi, khas pemikiran kontemporer. Semua ini bisa dilakukan, tentu diawali dengan asumsi bahwa baik turâts maupun hadâtsah sama-sama bersifat historis, juga satu hal yang tidak lazim di masa-masa sebelumnya.

Beberapa Mode Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia
Uraian di atas menunjukkan bahwa dinamika pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia ternyata tidak benar-benar bersifat lokal, tetapi memiliki akar yang jauh di negeri asalnya; tanah Arab. Kemunculannya juga tidak tiba-tiba, melalui proses sejarah yang panjang, di situ ada continuity dan change. Ini juga menunjukkan pentingnya menggunakan perspektif sejarah dalam melihat berbagai pemikiran yang berkembang, karena bagaimanapun itu memang merupakan fenomena sejarah. Dan, yang terpenting lagi adalah dinamika pemikiran Islam di Indonesia diwarnai oleh dua arus utama pemikiran yang sudah mengakar pada sejarah umat Islam Indonesia, yaitu pemikiran tradisional dan pemikiran modern atau reformis.
Para pengamat dan peneliti pemikiran Islam di Indonesia, baik dari dalam negeri maupun dari asing umumnya bertitik tolak dari kategori dasar “tradisionalis” dan “modernis” dalam memetakan gerakan pemikiran Islam, meskipun dengan penjelasan yang bervariasi. Dari dua pemikiran itu kemudian berkembang varian-varian baru. Dari pemikiran tradisionalis kemudian berkembang menjadi neo-tradisionalis yang mencoba melakukan pembaruan atas tradisi seperti dilakukan Abdurrahman Wahid, dan post-tradisionalis yang melakukan kritisisme atas tradisi, mengadopsi metode pemikiran modern dengan tetap menggunakan tradisi sebagai basis transformasi. Sementara dari kelompok modernis lahir neo-modernisme yang diwakili tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Syafi’i Ma’arif yang kemudian bermetamorfosis menjadi pemikiran Islam liberal. Namun pemikiran ini juga memunculkan suatu gerakan Islam yang bercorak fundamentalis dan neo-fundamentalis. Karakteristik beberapa mode pemikiran tersebut akan dijelaskan secara umum berikut ini:

Neo Tradisionalisme
Dalam konteks pemikiran Islam Indonesia, pemikiran neo-tradisionalisme (Neotra) biasanya didentikkan dengan Gus Dur. Sekalipun demikian bukan berarti Gus Dur hanya Neotra, karena kenyataanya, ia juga inspirator sekaligus pegiat neo-modernisme, post-tradisionalisme, bahkan Islam liberal.
Sebagai pemikiran yang bertolak dari tradisi, neo-tradsionalisme melihat bahwa Islam selaras dengan perkembangan kebudayaan lokal, sehingga sangat menghargai multikulturalisme. Neo-tradsionalisme cenderung pada kebudayaan lokal di mana Islam berkembang (living). Kebudayaan Arab juga lokal sehingga Islam Arab semata-mata merupakan ekspresi kebudayaan orang Arab, bukan Islam itu sendiri. Di samping itu, Neotra cenderung berpandangan dan bersikap inklusif (terbuka) atas realitas sosial.
Lebih jauh, neotra melihat bahwa Islam sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Yang penting bagi Islam adalah etika kemasyarakatan. Alasannya, Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang definitif. Begitu juga dalam hal suksesi kekuasaan, Islam tidak memiliki bentuk tetap. Terkadang memakai istikhlaf, bai'at (pengangkatan), dan ahli halli wal aqdi.
Karena itu, dalam hubungan ini pendirian negara Indonesia lebih disebabkan oleh kesadaran berbangsa. Bukan hanya karena faktor ideologi Islam. Ini merupakan kenyataan yang harus diterima secara objektif karena masih dalam kaca mata Neotraisionalisme, kenyataan objektif demikian masih belum seluruhnya dipahami sebagian aktivis pergerakan Islam di Indonesia. Islam sebagai komponen yang membentuk kehidupan bernegara seharusnya berperan secara komplementer bagi komponen-komponen lain. Dengan begitu, Islam tidak berfungsi sebagai faktor tandingan yang dapat mengundang disintegrasi dalam kehidupan berbangsa.
Untuk itu, umat Islam Indonesia harus dapat menerima kesadaran dan wawasan kebangsaan sebagai realitas objektif dan tidak perlu dipertentangkan. Apalagi, bila mengingat alasannya bahwa Indonesia merupakan suatu nation yang punya pluralitas sosio-historis yang berbeda dengan asal-muasal Islam di Arab Saudi.
Karena itu, Gus Dur tidak sependapat kalau proses islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses Arabisasi. Mengapa? Karena itu hanya akan membuat tercerabutnya masyarakat Indonesia dari akar budaya sendiri. Inilah yang oleh Gus Dur disebut sebagai ''pribumisasi Islam''. Pribumisasi Islam bukanlah jawanisasi atau sinkretisme. Sebab, pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma demi budaya. Tetapi, agar norma-norma itu menampung kebutuhan dari budaya, dengan menggunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash (ketentuan) dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan kaidah fiqh.

Neo Modernisme
Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru atau pembaruan yang belakangan disebut “neo-modernisme”. Sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari.
Neo-modernisme lebih menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yang viable, murni (genuine) dan tetap berpijak kukuh pada tradisi.
Melihat kerangka pikir ini, maka wajar jika orang kemudian menghubungkan wacana semacam ini dengan paradigma pemikiran yang diusung oleh intelektual muslim terkemuka, Fazlur Rahman. Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Rahman dengan Cak Nur, pelopor dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Kebetulan, Cak Nur beserta beberapa tokoh dari Indonesia, termasuk Syafi’i Ma’arif, sempat berhubungan dan berguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada akhirnya peran Fazlur Rahman disebut-sebut sebagai “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran Islam modern di negeri ini. Pada konteks itulah, pengaruh Fazlur Rahman juga tidak dinafikan dalam pembentukan wacana pembaharuan keislaman di Indonesia.
Secara umum neo-modernisme Islam bisa dicirikan sebagai berikut: pertama, neo-modernisme Islam merupakan gerakan kultural-intelektual yang muncul untuk melakukan rekontruksi internal pada umat Islam dengan merumuskan lagi warisan Islam secara lebih utuh, konprehensif, kontekstual dan universal. Kedua, pada prinsipnya neo-modernisme muncul sebagai tindak lanjut atas usaha-usaha pembaru kelompok modernis terdahulu, yang karena keterbatasan-keterbatasan tertentu masih meninggalkan sejumlah masalah yang belum bisa diatasi. Ketiga, dalam konteks keindonesiaan, kemunculan gerakan neo-modernisme Islam yang dimotori oleh Cak Nur lebih merupakan kritik sekaligus solusi atas pandangan dua arus utama yaitu Islam tradisionalis dan Islam modernis yang selalu berada dalam pertarungan konseptual yang nyaris tidak pernah usai. Neo-modernisme Islam hadir untuk menawarkan konsep-konsep pemikiran yang melampaui kedua arus utama tersebut. Keempat, kemunculan neo-modernisme Islam di Indonesia yang dimotori Cak Nur itu merupakan wacana awal gerakan modernisasi dalam arti rasionalisasi, yaitu merombak cara kerja lama yang tidak aqliyah. Pembaruan Cak Nur menyentuh wilayah yang luas, baik itu persoalan keagamaan, sosial-politi, bahkan masalah pendidikan.

Islam liberal
Kurang lebih 30 tahun gerakan pemikiran model neo-modernisme berkibar dan mendapat tempat dalam konstalasi keilmuan Islam di tanah air. Seiring arus waktu, ia telah mengalami metamorfosa yang begitu rupa dan berganti nama dengan “Islam liberal”. Istilah “Islam liberal” sendiri muncul di saat Indonesianis Greg Barton menyebutnya dalam buku karangannya: Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Semenjak saat itu, istilah tersebut mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Sejak awal 2001, publikasi mazhab pemikiran yang disebut ”Islam liberal” itu memang tampak digarap sistematis. Pengelolanya menamakan diri ”Jaringan Islam Liberal” (JIL).
Sebelum lahir JIL, wacana Islam liberal beredar di meja-meja diskusi dan sederet kampus, akibat terbitnya buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Binder, dan Liberal Islam (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. Istilah Islam liberal pertama dipopulerkan Asaf Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India, pada 1950-an. Kurzman sendiri mengaku meminjam istilah itu dari Fyzee. Geloranya banyak diprakarsai anak-anak muda usia, 20-35 tahun. Untuk kasus Jakarta, mereka umumnya para mahasiswa, peneliti, atau jurnalis yang berkiprah di beberapa lembaga, semisal Paramadina, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU), IAIN Syarif Hidayatullah, atau Institut Studi Arus Informasi.
Komunitas itu makin mengkristal, sehingga pada Maret 2001 mereka mengorganisasikan diri dalam JIL. Kegiatan awal dilakukan dengan menggelar kelompok diskusi maya (milis). Sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu, berikut 51 koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar perspektif Islam liberal. Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan para kontributor Islam liberal, lewat kantor berita radio 68 H dan 10 radio jaringannya. Situs: islamlib.com diluncurkan, dua pekan kemudian. Beberapa nama pemikir muda, seperti Luthfi Assyaukanie (Universitas Paramadina Mulya), Ulil Abshar-Abdalla (Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam), terlibat dalam pengelolaan JIL. Luthfi Assyaukanie, editor situs islamlib.com, menyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya ”ekstremisme” dan ”fundamentalisme” agama di Indonesia. Itu ditandai oleh munculnya kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi ”Islam militan”, serta penggunaan istilah ”jihad” sebagai dalil serangan.
Gerakan mereka itu lebih agresif dan bahasanya sederhana, sehingga mudah dicerna awam. Jika pandangan mereka dominan, kata Luthfi, bisa menghambat demokratisasi Indonesia dan mempersulit tatanan ko-eksistensi damai antarkelompok beragama. Demokrasi, menurut Luthfi, membutuhkan pandangan keagamaan yang terbuka, plural, dan humanis. Sayangnya, suara kelompok ini makin lirih, karena hanya menjadi konsumsi elite. Bahasanya sulit dicerna awam. Gerakannya kurang gereget. Untuk mencegah dominasi kaum militan, harus ada kampanye militan tentang gagasan keagamaan pluralis-humanis. ”Islam liberal datang sebagai protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks itu,” kata Luthfi.
Luthfi memaknai istilah Islam liberal sebagai identitas untuk merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif, dan dinamis. ”Dalam pengertian ini, Islam liberal bukanlah sesuatu yang baru,” katanya. Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19. JIL mendaftar 28 orang kontributor domestik dan luar negeri sebagai ”juru kampanye” Islam liberal. Di antara mereka adalah Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Said Agiel Siradj, Azyumardi Azra, Goenawan Mohamad, Komaruddin Hidayat, dan Rizal Mallarangeng. Beberapa kontributor mancanegara, misalnya, Edward Said (Palestina), Asghar Ali Engineer (Pakistan), Abdullahi Ahmed an-Na’im (Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Charles Kurzman (Amerika). JIL menyediakan pentas —berupa koran, radio, booklet dan website— bagi para kontributor itu untuk mengungkapkan pandangannya pada publik. Tema kajiannya berupa soal-soal yang berada dalam lingkup agama dan demokrasi. Misalnya jihad, penerapan syariat Islam, tafsir kritis, keadilan gender, jilbab, atau negara sekuler. Perspektif yang disampaikan berujung pada tesis bahwa Islam selaras dengan demokrasi.
Kritik mendasar Islam liberal justru berasal dari ”mitranya”, yaitu komunitas yang menamakan diri ”Post Tradisionalisme Islam” —biasa disingkat Postra. Kalangan ini umumnya berlatar belakang kultur Nahdlatul Ulama. Markasnya di Lakpesdam Jakarta dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Yogyakarta. Label mereka merujuk pada judul terjemahan buku Muhammad Abed Al-Jabiri, pemikir Maroko, yang diterbitkan LKiS. Rumadi, seorang pejuang Postra, menilai, ada dua kelemahan paradigma Islam liberal. Pertama, kurang empati pada tradisi lokal. Kedua, mengabaikan dinamika spiritualitas. Padahal paham keagamaan yang membebaskan manusia dari belenggu, sekaligus menghargai aspek lokal, akan lebih dekat dengan perasaan kemanusiaan.

Post-Tradisionalisme
Istilah postra kali pertama muncul ketika ISIS (Institute for Social and Institutional Studies), sebuah LSM yang dikelola anak-anak muda NU di Jakarta, menyelenggarakan sebuah diskusi untuk mengamati munculnya gairah baru intelektual di kalangan anak muda NU pada Maret 2000 di Jakarta. Gema dari wacana ini terus meluas terutama setelah LKiS menjadikan “postra” sebagai landasan ideologisnya dalam strategis planning pada Mei 2000 di Kaliurang Yogyakarta. Ideologi itu pula yang kemudian menjadi judul buku terjemahan Ahmad Baso atas sejumlah artikel Muhammad Abed al-Jabiri. Dua aktivis ISIS, Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rahman memberi sedikit “muatan” dengan menerbitkan buku berjudul Post-Tradisionalisme Islam, Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000). ISIS kemudian menerbitkan sebuah bulletin yang diberi nama “Postra”. Wacana postra semakin matang ketika Lakpesdam NU melakukan kajian yang agak serius mengenai tema ini dalam Jurnal Taswirul Afkar No. 9 tahun 2000. Setelah itu, postra telah benar-benar menjadi wacana publik dan banyak diperbincangkan orang dalam berbagai diskusi, seminar dan juga liputan media massa.
Beberapa faktor yang turut berperan dalam mendorong gerakan intelektual anak muda NU yang kemudian mengkristal dalam komunitas postra. Pertama, faktor perkembangan politik. Faktor ini menjadi penting karena dinamika sejarah NU, baik secara struktural maupun kultural banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor perkembangan politik. Keputusan kembali ke khittah 26 pada 1984 yang sangat dipengaruhi oleh proyek restrukturisasi politik orde baru ternyata mempunyai makna signifikan bagi gerakan sosial-intelektual NU (social-intellectual movement) di lingkungan NU. Perubahan peta politik nasional yang terjadi pada 1998 juga mempunyai imbas pada komunitas NU. Di satu pihak ada gerakan politik demikian kuat yang antara lain ditandai dengan berdirinya PKB dan beberapa parpol yang berbasis massa NU, namun di pihak lain sebagian kecil anak muda, terutama yang menjadi aktifis LSM, tetap menjaga jarak dengan kekuatan politik sembari tetap melakukan gerakan sosial-intelektual.
Kedua, munculnya arus intelektualisme progresif di belahan dunia Arab turut mendorong dan memberi inspirasi semangat intelektualisme postra. Bahkan wacana yang dikembangkan sedikit banyak merupakan tema-tema yang diangkat dan menjadi perbincangan intelektual di kalangan mereka adalah tema-tema sebagaimana terdapat dalam karya tokoh-tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Muhammad ‘Abed al-Jabiri, dan sebagainya.
Post-tradisionalisme Islam dalam komunitas NU dapat dipahami sebagai gerakan “lompat tradisi”. Gerakan ini berangkat dari tradisi yang diasah secara terus menerus, diperbarui dan mendialogkannya dengan modernitas. Dari sini kemudian lahir “loncatan tradisi” menuju pada sebuah tradisi baru (new tradition) yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya. Dari satu sisi memang terjadi kontinuitas, namun di sisi yang lain juga terjadi diskontinuitas dari bangunan tradisi sebelumnya. Tradisi baru ini biasanya diikuti dengan “liberalisasi pemikiran” yang seringkali berisi gugatan terhadap tradisinya sendiri (ego, al-âna) maupun tradisinya orang lain (the others, al-âkhar).
Spirit utama yang senantiasa menggelora dalam setiap aktifitas intelektual komunitas postra adalah semangat untuk terus menerus mempertanyakan kemapanan doktrin dan tradisi, berdasar nilai-nilai etis yang mereka peroleh setelah bergumul dengan berbagai tradisi keilmuan, baik melalui kajian, penelitian, maupun penerbitan buku dan jurnal. Berbagai bentuk penafsiran atas teks suci, tradisi, dan ideologi yang tidak mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan, apalagi menistakan kemanusiaan, mereka gugat keabsahannya, baik pada tingkat relevansi maupun kemungkinan adanya manipulasi dan politisasi.
Satu hal yang perlu dicatat, gerakan intelektual tersebut berangkat dari kesadaran untuk melakukan revitalisasi tradisi, yaitu sebuah upaya untuk menjadikan tradisi (turâst) sebagai basis untuk melakukan transformasi. Dari sinilah komunitas postra bertemu dengan pemikir Arab modern seperti Muhammad Abed al-Jabiri dan Hassan Hanafi yang mempunyai apresiasi tinggi atas tradisi sebagai basis transformasi. Dengan demikian, post-tradisionalisme Islam menjadikan tradisi sebagai basis epistimologinya, yang ditransformasikan secara meloncat, yakni pembentukan tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya dengan jangkauan yang sangat jauh untuk memperoleh etos progresif dalam transformasi dirinya.

Akhirul Kalam....
Gerakan pemikiran keislaman yang berkembang di Indonesia dewasa ini ternyata tidak bisa dilepaskan dari dua arus utama pemikiran yang telah berkembang lebih dulu: Islam tradisionalis dan Islam modernis. Perkembangan itu juga memiliki keterkaitan dengan perkembangan pemikiran di belahan dunia yang lain, terutama di Timur Tengah dan Arab pada umumnya. Kondisi sosial-politik di Indonesia dan situasi sosial-politik global turut punya andil dalam menumbuh-suburkan berbagai pemikiran keislaman dan terutama gerakan keislaman tersebut.
Karena keterbatasan ruang, corak Islam fundamentalis belum diurai dalam makalah ini. Dalam banyak literatur corak ini lebih dimasukkan dalam gerakan Islam bukan pemikran Islam, yang kompleksitasnya tidak kalah seru. Mestinya juga masih ada yang lain, yaitu pemikian Islam posmodernis dan islam transformatif, mudah-mudahan di lain kesempatan. Tetapi yang jelas, kedalaman pemahaman atas peta pemikiran dan gerakan keislaman tentu sangat menentukan, jika seseorang akan memasuki diskursusnya. Tanpa itu, hanya akan menjatuhkannya pada keberpihakan yang sempit, mungkin sikap yang pragmatis juga. Maka, sekalipun ini pemikiran, belajar sejarah pemikiran tetap penting, agar menjadi tercerahkan dan akhirnya dapat mencerahkan.
Wallahu a’lam bishshawab

By : Mohammad Muslih